Kemenkes Hebat, Indonesia Sehat

Kemenkes Hebat, Indonesia Sehat

Mengenal Sindrom Cornelia, Kelainan Genetik Langka Pada Bayi Baru Lahir

469

Jakarta, 27 Mei 2024

Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono melakukan audiensi dengan Yayasan Sindrom Cornelia Indonesia (YSCI) di Kantor Kementerian Kesehatan, Jakarta, pada Senin (27/5). Audiensi tersebut membahas tentang dukungan, pelayanan dan intervensi terhadap anak dengan Sindrom Cornelia atau Cornelia de Lange Syndrome (CdLS) di Indonesia.

Sindrom Cornelia merupakan salah satu penyakit langka pada bayi baru lahir. Kelainan ini terjadi akibat mutasi genetik pada setidaknya 5 gen, yaitu NIPBL, SMC3, RAD21, SMC1A, HDAC8, saat proses pembuahan di dalam kandungan.

Kondisi langka ini hanya terjadi pada 1 dari 30.000 kelahiran. Di Indonesia, jumlah pengidap Sindrom Cornelia diperkirakan mencapai 160 orang.

Anak dengan Sindrom Cornelia memiliki karakteristik fisik yang khas, seperti alis tebal melengkung yang kerap bertemu di tengah (synophrys), lingkar kepala kecil (mikrosefali), malformasi tangan dan lengan, banyak bulu tumbuh di sekitar wajah, dahi dan punggung, serta lahir dengan berat badan lahir rendah (BBLR).

Ciri-ciri lainnya termasuk hidung pendek, bibir kecil dan sumbing. Beberapa kasus anak Sindrom Cornelia juga memiliki ciri kelebihan atau kehilangan jari dan bahkan kehilangan lengan bagian bawah, serta bentuk tangan dan kaki sangat mungil dengan jari-jari yang pendek.

Selain itu, ada pula kasus dengan ciri kelainan pada organ tubuh seperti kejang, cacat jantung, gangguan pernapasan, gangguan pendengaran, dan rabun jauh. Ada pula anak Sindrom Cornelia yang mengalami keterlambatan pertumbuhan dan kognitif dengan IQ berkisar 30 hingga 102.

Namun, perlu diingat bahwa tidak semua anak dengan Sindrom Cornelia mengalami semua ciri-ciri tersebut. Ciri-ciri itu tergantung pada variasi dan tingkat keparahan penyakit.

Kelainan langka ini tidak diturunkan dan tidak menular, sehingga kasus ini dapat terjadi pada siapapun tanpa ada riwayat penyakit pada keluarga.

Hingga saat ini, penyebab pasti Sindrom Cornelia belum diketahui dan diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis. Hal ini seringkali berakibat pada keterlambatan penanganan.

Menyadari hal tersebut, Wamenkes Dante menekankan pentingnya pengobatan yang cepat dan tepat bagi anak-anak dengan Sindrom Cornelia. Apalagi, anak dengan Sindrom Cornelia memiliki angka harapan hidup yang relatif lebih rendah dibanding anak normal.

“Angka harapan hidup anak CdLS relatif lebih rendah dibanding anak normal. Namun, dengan pengobatan dan kolaborasi yang baik dari lintas sektor harapan hidup itu bisa meningkat,” kata Wamenkes.

Wamenkes Dante menambahkan, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) akan menjalin kerja sama dengan YSCI untuk melakukan beberapa program penyediaaan akses pelayanan kesehatan yang lebih baik bagi anak dengan Sindrom Cornelia.

Salah satu ruang lingkup yang didorong oleh Wamenkes Dante adalah soal pemeriksaan genetik dengan memanfaatkan teknologi sequencing. Pemeriksaan berbasis gen atau DNA ini bertujuan mendeteksi sejak dini kecenderungan anak mengidap Sindrom Cornelia.

Tak hanya itu, Wamenkes juga mengatakan, vaksinasi tambahan serta dukungan dalam pembiayaan BPJS Kesehatan juga rencananya akan diperkuat untuk mendukung penanganan Sindrom Cornelia di Indonesia.

“Kami siap bantu agar anak-anak tetap sehat, supaya anak-anak bisa tertangani dengan baik, perkembangannya baik kecerdasan maupun imunitasnya supaya bisa seperti anak-anak lain,” lanjut Wamenkes.

Ketua Yayasan Sindrom Cornelia Indonesia sekaligus orang tua dari anak dengan Sindrom Cornelia, Koko Prabu, mengatakan, pertemuan ini merupakan awal yang baik bagi anak penyandang Sindrom Cornelia untuk mendapat dukungan serta pelayanan kesehatan yang lebih baik.

Diharapkan, angka harapan hidup anak dengan Sindrom Cornelia kian meningkat seperti anak normal lainnya.

“Meski difabel berat, angka harapan hidup tinggi, sehingga mereka bisa menjadi guru untuk anak-anak lain,” harap Koko.

Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik, Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi nomor hotline Halo Kemenkes melalui nomor hotline 1500-567, SMS 081281562620 dan alamat email [email protected].

Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik

dr. Siti Nadia Tarmizi, M.Epid

Previous Article
Hari Anak Nasional 2024, Masyarakat Harus Pahami Karakteristik TBC
Next Article
Kerja Sama Indonesia-Jerman untuk Memperkuat Penanggulangan TBC dan Malaria di Indonesia

MINISTRY OF HEALTH RELEASE


KALENDER KEGIATAN

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Jl. H.R. Rasuna Said Blok X-5 Kav. 4-9
Jakarta Selatan 12950
Indonesia

Ikuti Kami:

© 2024